aku adalah aku.....


5 Perkara Yang Aneh


Abu Laits as-Samarqandi adalah seorang ahli fiqh yang masyur. Suatu ketika dia pernah berkata, ayahku menceritakan bahawa antara Nabi-nabi yang bukan Rasul ada menerima wahyu dalam bentuk mimpi dan ada yang hanya mendengar suara.

Maka salah seorang Nabi yang menerima wahyu melalui mimpi itu, pada suatu malam bermimpi diperintahkan yang berbunyi, “Besok engkau keluar dari rumah pada waktu pagi ke arah barat. Engkau harus berbuat, pertama; apa yang engkau lihat (hadapi) maka makanlah, kedua; engkau sembunyikan, ketiga; engkau terimalah, keempat; jangan engkau putuskan harapan, yang kelima; larilah engkau daripadanya.”

Pada keesokan harinya, Nabi itu pun keluar dari rumahnya menuju ke barat dan kebetulan yang pertama dihadapinya ialah sebuah bukit besar berwarna hitam. Nabi itu kebingungan sambil berkata, “Aku diperintahkan memakan pertama aku hadapi, tapi sungguh aneh sesuatu yang mustahil yang tidak dapat dilaksanakan.”

Maka Nabi itu terus berjalan menuju ke bukit itu dengan hasrat untuk memakannya. Ketika dia menghampirinya, tiba-tiba bukit itu mengecilkan diri sehingga menjadi sebesar roti. Maka Nabi itu pun mengambilnya lalu disuapkan ke mulutnya. Saat ditelan terasa sungguh manis bagaikan madu. Dia pun mengucapkan syukur ‘Alhamdulillah’.

Kemudian Nabi itu meneruskan perjalanannya lalu bertemu pula dengan sebuah mangkuk emas. Dia teringat akan arahan mimpinya supaya disembunyikan, lantas Nabi itu pun menggali sebuah lubang lalu ditanamkan mangkuk emas itu, kemudian ditinggalkannya. Tiba-tiba mangkuk emas itu terkeluar semula. Nabi itu pun menanamkannya semula sehingga tiga kali berturut-turut.

Maka berkatalah Nabi itu, “Aku telah melaksanakan perintahmu.” Lalu dia pun meneruskan perjalanannya tanpa disadari oleh Nabi itu yang mangkuk emas itu terkeluar semula dari tempat ia ditanam.

Ketika dia sedang berjalan, tiba-tiba dia terlihat seekor burung elang sedang mengejar seekor burung kecil. Kemudian terdengarlah burung kecil itu berkata, “Wahai Nabi Allah, tolonglah aku.”

Mendengar rayuan burung itu, hatinya merasa simpati lalu dia pun mengambil burung itu dan dimasukkan ke dalam bajunya. Melihat keadaan itu, lantas burung elang itu pun datang menghampiri Nabi itu sambil berkata, “Wahai Nabi Allah, aku sangat lapar dan aku mengejar burung itu sejak pagi tadi. Karena itu janganlah engkau patahkan harapanku dari rezekiku.”

Nabi itu teringatkan pesanan arahan dalam mimpinya yang keempat, iaitu tidak boleh putuskan harapan. Dia menjadi kebingungan untuk menyelesaikan perkara itu. Akhirnya dia membuat keputusan untuk mengambil pedangnya lalu memotong sedikit daging pahanya dan diberikan kepada elang itu. Setelah mendapat daging itu, elang pun terbang dan burung kecil tadi dilepaskan dari dalam bajunya.

Selepas kejadian itu, Nabi meneruskan perjalannya. Tidak lama kemudian dia bertemu dengan satu bangkai yang amat busuk baunya, maka dia pun bergegas lari dari situ karena tidak tahan menghirup bau yang menyakitkan hidungnya. Setelah menemui kelima-lima peristiwa itu, maka kembalilah Nabi ke rumahnya.
Pada malam itu, Nabi pun berdoa. Dalam doanya dia berkata, “Ya Allah, aku telah pun melaksanakan perintah-Mu sebagaimana yang diberitahu di dalam mimpiku, maka jelaskanlah kepadaku arti semuanya ini.”

Dalam mimpi beliau telah diberitahu oleh Allah SWT bahawa, “Yang pertama engkau makan itu ialah marah. Pada mulanya nampak besar seperti bukittetapi pada akhirnya jika bersabar dan dapat mengawal serta menahannya, maka marah itu pun akan menjadi lebih manis daripada madu.

Yang kedua semua amal kebaikan (budi), walaupun disembunyikan, maka ia tetap akan nampak jua. Lalu yang ketiga jika sudah menerima amanah seseorang, maka janganlah kamu khianat kepadanya. Yang keempat jika orang meminta kepadamu, maka usahakanlah untuknya demi membantu kepadanya meskipun kau sendiri berhajat. Dan kelima bau yang busuk itu ialah ghibah (menceritakan hal seseorang). Maka larilah dari orang-orang yang sedang duduk berkumpul membuat ghibah.”

Kelima-lima kisah ini hendaklah kita semaikan dalam diri kita, sebab kelima-lima perkara ini sentiasa berlaku dalam kehidupan kita sehari-hari. Perkara yang tidak dapat kita elakkan setiap hari ialah mengata hal orang, memang menjadi tabiat seseorang itu suka mengatakan hal orang lain. Haruslah kita ingat bahawa mengatai seseorang itu akan menghilangkan pahala kita, sebab ada sebuah hadist mengatakan di akhirat nanti ada seorang hamba Allah akan terkejut melihat pahala yang tidak pernah dikerjakannya.
Lalu dia bertanya, “Wahai Allah, sesungguhnya pahala yang Kau berikan ini tidak pernah aku kerjakan di dunia dulu.”

Maka berkata Allah SWT, “Ini adalah pahala orang yang mengatai tentang dirimu.” Dengan ini haruslah kita sadar bahwa walaupun apa yang kita katakan itu memang benar, tetapi mengatai itu akan merugikan diri kita sendiri. Oleh kerana itu, hendaklah kita jangan mengata hal orang walaupun ia benar.

Kalau ada satu kata indah di antara kata indah lainnya, kata indah itu adalah “tulus”. Lawan katanya adalah pamrih. Sama dengan kata “jujur” kata ketulusan sama-sama kata yang lebih banyak berada di buku-buku cerita atau dongeng pengantar tidur. Kata yang nyaris punah karena semakin langka orang yang menyematkan ketulusan dalam setiap perbuatannya.

Saya sendiri sulit menilai, tidak berani, apakah semua yang saya katakan dan lakukan sepanjang hidup ini telah berbingkai ketulusan. Karena merasa jerih, kadang masih saja ada kekecewaan yang tiba-tiba menyeruak tatkala saya tak mendapatkan apa-apa dari yang saya perbuat. Mengeluh, mengumpat, bahkan bersumpah atas nama Allah atas ketidakadilan yang saya terima. Padahal, siapa suruh saya berharap kepada manusia? Atau, mungkinkah saya tak lagi dapat membingkai semua pekerjaan saya dalam ketulusan, sehingga apapun yang saya lakukan mesti berbuah keuntungan?

Ketulusan sering diibaratkan sebagai kertas putih. Ketulusan itu sesuatu yang hadir begitu saja, tanpa pretensi atau kepentingan apa pun untuk melakukan sesuatu. Ia seperti mata air yang mengalir dari kedalaman hati dengan sendirinya. Ia bening adanya.

Bening berati tidak berwarna. Dari sudut pandang tradisi spiritual, ia bebas dari merah, jingga, kuning, dan bahkan putih; warna-warna yang menyimbolkan nafsu amarah, nafsu kepemilikan, nafsu kepada lawan jenis, sampai nafsu yang sebetulnya paling ilahiah, yakni nafsu untuk mengumpulkan sebanyak mungkin nilai kebenaran. Bening dapat diwarnai oleh apa saja, tetapi ia juga menghadirkan semua warna seperti adanya.

Seperti halnya air bening yang selalu menjadi tujuan dahaga yang sangat, ketulusan juga menjadi dambaan jiwa yang kering. Ketulusan, siapa sangka, adalah harta yang esensial. Mungkin seseorang akan bahagia dengan memiliki uang, pangkat, atau jabatan. Tetapi, bahagia karena uang, pangkat, atau kedudukan itu baru kemungkinan. Bahagia karena ketulusan adalah kepastian.

Hadirnya ketulusan dalam hati, mengisyaratkan kondisi hati yang sederhana. Sederhana dari pretensi, kepentingan, atau hasil apa pun selain nikmatnya merasakan ketulusan itu saja, yang mengalir begitu saja. Nikmat itu membuat orang yang sedang tulus menjadi “trans” berpindah, hilang ingatan, lupa bahwa di ujung amal perbuatannya yang tulus, ada hasil lain yang layak ditagih olehnya selain sejuknya ketulusan itu sendiri.

Uniknya, di sinilah agaknya keadilan Allah hadir dengan feminin, lembut; tidak dengan berwibawa dan bermuatan ancaman atau hukuman, tetapi dengan bersahaja, bertaburkan keindahan dan keharuan. Kehadiran keadilan Allah seperti ini membuat sesuatu yang sederhana menjadi tidak sederhana: menjadi bermakna, dan abadi dalam ingatan.